Senin, 19 Mei 2008

Prestasi Besar Peradaban Manusia

Sekularisme telah muncul dua setengah abad silam. Tepatnya ketika masyarakat Eropa memutuskan untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Selanjutnya mereka memisahkan agama dari ruang publik dan menariknya ke dalam ruang privat. Namun bila diartikan secara longgar, sekularisasi sebenarnya sudah berlangsung sejak abad 5 SM, yakni ketika pemikiran argumentatif di Yunani melepaskan diri dari narasi mistis.
Ide sekularisasi adalah sebuah prestasi besar peradaban manusia. Ditariknya agama dari ruang publik terbukti mampu meminimalisir, kalau bukan menutup rapat konflik politik yang mengatasnamakan agama. Tapi sejarah panjang sekularisme dalam meredam konflik itu sekonyong-konyong ternodai oleh peristiwa robohnya menara WTC, 11 September 2002. “Peristiwa itu dapat dilihat sebagai permulaan era baru yang menyudahi era masyarakat sekular,”
Pakar filsafat menandaskan bahwa praktek sekularisme selama ini juga tak lepas dari masalah yang serius. Pemisahan agama dan politik yang selama ini dipraktekkan, rupanya juga menghasilkan pseudo-toleransi atau toleransi semu. Yang berlangsung hanyalah sekadar ’gencatan senjata’ antara agama dan politik.
Lalu bagaimana sekularisme mestinya dipahami? Agama di Ruang Publik; Menimbang Kembali Sekularisme. Sekularisasi atau sekularisme adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin saeculum, yang berarti zaman. Sementara kata saecularis berarti dunia. ”Dalam pengertian sosiolog Peter L. Berger, sekularisasi adalah proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan,” Demikian Iones Rakhmat mengawali presentasinya.
Munculnya sekularisme di Barat, pada awalnya dipicu oleh problem absolutisme agama yang telah lama mencengkeram manusia. Sebelumnya, di Barat dan juga di belahan dunia lain, agama dan politik menyatu dalam kekuasaan negara yang begitu dominan. Agama itu politis dan politik itu religius. Dalam sistem kenegaraan semacam ini, hukum negara menjadi sakral. Dengan begitu, negara dianggap sah mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilihkan untuk rakyatnya.
”Atas nama Tuhan, suatu otoritas politik dianggap sah untuk mengawasi pikiran, keinginan, perasaan, dan iman individu,”. Akibatnya kebebasan individu dalam berpikir dan berkreativitas terpasung. Proses berpikir seringkali dimusuhi oleh negara yang non-sekular. Rasionalitas dianggap musuh iman dan senantiasa mengancam agama.
Perselingkuhan antara agama dan politik seperti itu tampaknya juga masih menjadi pemandangan umum di beberapa negara dewasa ini. Bahkan Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor sekularisme tak ayal juga mengalami apa yang oleh Talal Asad, antropolog Amerika, disebut sebagai politicized religions (agama-agama yang dipolitikkan). Politik gerakan keagamaan yang muncul di beberapa negara ini menandai bangkitnya gerakan fundamentalisme Yahudi di Israel dan Amerika, fundamentalisme Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak tempat.
Fenomena ini, oleh Ihsan Ali-Fauzi dinilai telah menggaggu dan mengguncang, bukan saja salah satu fondasi pokok teori sekularisasi, tetapi juga rumusan lama yang sederhana mengenai hubungan agama dan politik, yakni: pemisahan gereja dan negara. Ihsan dengan gamblang menyuguhkan dua model teori sekularisasi. Mengutip klasifikasi Gorski, Norris, dan Inglehart, ia mengelompokkan dua kubu besar dalam debat teori sekularisasi.
Pertama, Teori Sekularisasi Klasik. Dengan cukup sederhana, teori ini mengukur tingkat sekular atau tidaknya sebuah masyarakat lewat sejauh mana mereka terpengaruh oleh modernisasi. Menurut teori ini, semakin mengalami modernisasi suatu masyarakat, akan semakin kompleks penataan hidup mereka. Dengan itu, mereka akan semakin rasional dan individual, serta less religious.
Kedua, adalah Model Ekonomi Agama (REM). Dalam pandangan teori ini, vitalitas keagamaan berhubungan positif dengan kompetisi keagamaan, tapi berhubungan negatif dengan regulasi keagamaan. Artinya, semakin didominasi oleh sedikit gereja atau semakin diregulasi oleh negara, pasar dan perusahaan keagamaan akan makin lamban geraknya. Dengan itu pula, produknya pun akan buruk, disertai tingkat konsumsi keagamaan yang rendah. Sebaliknya, apabila agama dipisahkan dari regulasi negara, maka gerak laju perusahaan agama itu akan makin cepat dan justru mampu memproduksi pemikiran-pemikiran yang maju.
Tapi, meski sekularisasi menjadi pilihan terbaik negara modern saat ini, itu tidak berarti ia juga terhindar dari patologi. Menurut Franky, patologi sekularisasi muncul ketika sekularisasi yang ingin memisahkan agama dari negara—dengan tetap memberi hak hidup bagi agama—berubah menjadi paham yang berujung pada kebencian terhadap agama. Itulah salah satu jebakan sekularisasi. Tapi jebakan lain juga tak kalah mengerikannya: munculnya fundamentalisme agama yang disebabkan asumsi bahwa sekularisasi telah membenci agama.
Negara modern harusnya mampu mengantisipasi kedua jebakan di atas. Inilah yang dimaksud Franky dengan konsep pasca-sekularisme (post-secular), di mana masyarakat mampu berselancar dan belajar antara pemikiran yang sekular dengan pemikiran yang religius sekaligus.

SURAT CINTA TUHAN ITU SUCI GAK SIH?

(Membaca sapulidi edisi kedua lalu, saya sangat tertantang untuk menanggapi permasalahan yang pelik bagi saya. Surat cinta (baca : alquran) dari Kekasih sejati kita sekarang sedang diuji keontentikannya. Saya hanya tersenyum saja mendengar isu-isu yang merebak di kalangan mahasiswa setelah terkena virus akut yang kuat dari para seniornya, ngutek-ngutek wilayah Kekasih).

Ada analogi menarik, suatu hari Kekasihku yang sangat kukenal bertanya pada kami ketika masih berupa jiwa, “bukankah Aku Kekasihmu?” Kami menjawab “ya iyalah”. Kalian juga ikut waktu itu, tapi gara-gara banyak dosa, kalian lupa momen penting itu. Setelah perkenalan itu, Dia menerangkan kalau kita pernah bertemu tapi aku lupa saat itu, kemudian Dia menyuratiku dan mengingatkan momen penting itu sehingga aku percaya Dia adalah Kekasih sejatiku. Aku berusaha memahami surat itu atas keinginanNya sampai aku hapal surat itu, isinya macam-macam; disuruh sabar, tawadlu’, belajar, bersosial, adil, tidak sombong, iri dengki, disuruh mencintaiNya dengan tulus sampai disuruh untuk hanya mencintaiNya saja. Dia juga mengancam akan memenjarakanku di dalam tempat terburuk jika aku tidak berbuat sesuai pesanNya, namun di sisi lain Dia memberiku jaminan kenikmatan yang tiada tara jika aku melaksanakan pesan-pesanNya dengan baik, yaitu bertempat tinggal di istana yang indah serta bidadari yang cantik serta ketemu Dia atas izinNya. Dengan surat itu aku memahami segala hal yang membuktikan cintaNya padaku, mulai dari udara yang gratis, ditundukkannya langit dan bumi, bahkan lautan serta rasa haus dan segar, kenyang dan lapar, suka dan duka.
Dia mengirimkan semuanya berpasangan, Dia juga mengatakan betapa dunia ini berimbang tak berbenturan satu planet dengan yang lain, maa taroo fi kholqi al-rohmaani min tafaawut (untuk lebih lengkapnya, baca QS. Al-Mulk juz 29). Di waktu lain Dia ingin agar aku ketika menyentuh alquran supaya dalam keadaan suci, (laa yamussuhuu illa almuthohharuun, QS. Al-Waqi’ah). Dalam arti, aku harus menghargai alquran dengan hati dan perbuatan. Aku tak pernah menyamakan surat cinta itu dengan surat cinta lain, sementara surat surat cinta palsu (baca:fana, rusak) yang lain kubuat lemek tidur atau bungkus nasi. Maka surat cinta dari Kekasihku itu tidak demikian aku perlakukan, karena tulisan yang ada di dalamnya adalah ungkapan suci seorang Kekasih, hanya dengan tulisan itulah kalamNya terwakili, tak ada yang lain. Dan aku tidak meragukannya sama sekali karena surat itu telah diantar oleh kurir kepercayaanNya (Nabi Muhammad SAW) untuk disampaikan kepadaku sepenuh hati. Maka kesalahan ada pada pikiran orang orang yang hanya mengandalkan logika, padahal puncak dari akal rasionalisme adalah awal perjalanan spritualisme, kata Imam Ghozali dalam Jawahir al-Quran.
Jika engkau juga ingin mengetahui dan memahami isi surat cinta Kekasihku, pelajarilah bahasanya, jangan sekedar menerjemahkannya ke dalam bahasamu. Ada unsur lain yang nikmat banget tatkala engkau berkomunikasi dengan Kekasihku melalui surat cinta itu. Untuk berwudlu menjadi batasan menyentuhnya itu sudah urusan fiqh, bahkan mandi sepuluh kalipun tak bisa mewakili persentuhan suci antara surat cinta itu dengan tangan kita. Jika hatimu masih menghinakannya, karena penjaminan suci ada pada rasa kagum dan hormat kepadanya saja, namun untuk hadats besar kami sepakat mengharamkannya dan itu kesepakatan ulama zaman dulu, maka pilihlah sesukamu cara menyentuhnya, namun hilangkan sifat sombongmu dalam menghinakannya baik melalui kata-katamu yang kamu perjualbelikan dalam menghinanya, atau melalui perbuatanmu menyamakannya dengan teks lain (Koran, majalah misalnya), atau sekedar tahu sejarah pengiriman surat cinta itu tanpa pernah menghafal satu kalimat pun dari surat cinta itu, dan berlama lama meneliti padahal waktu penelitianmu itu andaikata digunakan menghafal surat cinta itu cukup bahkan lebih. Adalah bodoh tatkala kalian berfikir sepicik itu, dan surat cinta Kekasihku itu tak lain adalah al-Qur’an al-Karim yang suci dan mulia. Adalah naïf jika dikatakan bahwa pelafadzan al-Qur’an dari Muhammad, sementara hanya maknanya saja yang dari Allah. Allah bersifat qodim, begitu juga kalamNya. Namun dua unsur yang berbeda dzat ini ( Allah dan Muhammad) bisa begitu sinkron tatkala malaikat jibril diutus untuk menyampaikan kalamNya kepada Muhammad, dan hukum ini menjadi tauqify (normatif). Rohmatan lil ‘alamiin, tidak rohmatan lil ‘arobiyyin.
Penjagaan al-Quran melalui para huffadz dan qurra’ serta mushhaf-mushhaf yang sering kita baca. (Apakah mereka tidak berangan-angan terhadap alquran? Andai ia datang dari selain Allah tentu mereka akan mendapati di dalamnya (alquran) perselisihan yang banyak). Dan ada banyak keistimewaan bahasa arab baik dari segi metaforanya, majaz-majaznya serta panjang pendeknya, semuanya mempunyai makna yang luas dan istimewa yang tidak dimiliki oleh satu bahasapun di dunia sampai sekarang.
Wudlu hanya menjadi salah satu refleksi penghormatan kita pada al-Quran suci, menandakan hormat, kagum menghargai dan salut atas kandungan isinya yang sarat dan penuh dengan kebenaran dan tidak ada satu kalimatpun yang terlewatkan, jika surat cinta itu masih membuat hatimu tetap ragu, maka kesalahan itu bukan pada alqurannya yang bagimu penuh keraguan, namun pikiran kalianlah yang harus dicuci dulu sebelum menyebar ke seluruh lorong dari ruang A sampai G Watoe Dhakon. Adapula tidak punya wudlu boleh menyentuh mushhaf suci itu, menurut madzhab tertentu di Timur Tengah dulu dengan beberapa argumentasi, sulitnya air atau mudahnya kentut. Namun sekarang tatkala kita dengan mudahnya mendapatkan air dan bisa berlama-lama tidak kentut serta tidak bersentuhan kulit dengan gadis-gadis ajnaby (baca : pacar-pacarmu atau teman cewek sekelasmu), kenapa hal itu tidak kamu lakukan untuk hanya sekedar menghormatinya? (Imam Syafii konsekwen, baik horni maupun tidak, jika menyentuh ajnaby maka wudlunya batal). Apalagi menghafal dan memahaminya, masya allah, mulia banget dan sangat berguna bagi kaumnya nanti pas pulang ke rumah (amin). Wallahu a’lam bishshowab

www.syariah-online.com - www.cyber-MQ.com
komentar : aan-mail@plasa.com - danrif04@yahoo.com

Mengembalikan Islam untuk Rahmatan lilalamin

Sebagaimana yang dipaparkan Fazlurrahman Fikri Salah satu tokoh liberal dalam sebuah artikelnya Ijtihad dan kesegaran Islam, bahwa Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syariat, dengan interpretasi bagaimana pun juga.
Ijtihad adalah ruh penggerak berkembang dan majunya berbagai pemikiran keagamaan pada masa kejayaan Islam tempo dulu, bahkan hingga saat ini. Padahal, jika dicermati lebih dalam, di dalam Alquran sebetulnya tidak ada kata ijtihad dalam pengertian yang dipahami saat ini. Yang ada justru adalah kata jihad.
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, konfrontasi yang berkepanjangan dengan kaum Quraisy Mekkah penganut pagan (politeisme) yang tidak rela pengaruh Nabi Muhammad dan pengikutnya semakin membesar. Karena itu, kata yang dipakai adalah jihad, dalam konteks pengorbanan jiwa, raga dan harta untuk berjuang menghadapi kaum Quraisy.
Kedua, yang jauh lebih dibutuhkan oleh umat Islam kala itu bukanlah pemikiran rasional, tetapi memupuk keyakinan baru sebagai lawan dari keyakinan pagan yang dianut umat manusia kala itu. Masyarakat Arab kala itu disebut sebagai masyarakat jahiliah bukan karena mereka tak mengetahui apa-apa. Mereka sudah mengetahui Tuhan, tetapi tuhan yang mereka persepsikan bukan Tuhan seperti yang Nabi sampaikan.
Ketiga, Nabi Muhammad adalah penerus para nabi dan rasul sebelumnya. Artinya, masih ada kesinambungan antara ajaran para nabi dan rasul yang satu dengan yang lainnya. Karena itu ada beberapa syariat terdahulu yang kemudian dipertahankan Rasulullah. Sebab, selain nilai-nilai moral yang dikandungnya masih relevan dengan apa yang beliau bawa, ia juga merupakan pesan-pesan universal dari wahyu Allah yang dengan itu, kebaikan dan keburukan tetap bisa dipisahkan secara jelas, tidak bercampur aduk.
Menurut Fazlur Rahman di dalam Islam and Modernity, Transformation of Intellectual Tradition, apabila kita membaca Alquran, kita akan melihat bahwa sesungguhnya ia tidaklah memberikan banyak prinsip-prinsip umum. Untuk sebagian besar, ia memberikan solusi dan keputusan terhadap masalah-masalah historis yang spesifik dan kongkret. Tetapi, Alquran memberikan, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan-alasan di balik solusi-solusi dan keputusan-keputusan tersebut, dari mana bisa disimpulkan prinsip-prinsip umum.
Meski demikian, ada legalisasi niscayanya ijtihad, dalam pengertian optimalisasi kemampuan nalar, di dalam sunah Nabi. Di antaranya, ketika hendak mengutus Muâdz bin Jabal ke Yaman, beliau menanyakan soal apa yang jadi landasan Muâdz nantinya ketika menghukumi sesuatu. Muâdz mengatakan akan menggunakan Kitabullah. Jika tidak ada dalam Kitabullah, maka menggunakan sunah Rasulullah. Jika tidak ada, maka menggunakan ijtihad nalar (HR. Bukhari-Muslim). Nabi sendiri mengatakan bahwa seorang yang berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Pahala ijtihad dan pahala benarnya ijtihad itu.
Islam yang Universal
Sejak semula, menurut Amiur Nuruddin dalam bukunya, Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam (1991), memang Islam selalu mencari bentuk-bentuk yang baru, serta segar bagi realisasi dirinya. Dan ternyata, ia senantiasa menemukan bentuknya. Bentuk-bentuk itu lahir ketika menampung kemaslahatan pada tiap perkembangan dan penambahannya. Kemaslahatan dapat diwujudkan dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi dan situasi sosial untuk selanjutnya menafsirkan preseden hukum yang telah mapan.
Oleh karena kemaslahatan manusia menjadi dasar setiap macam hukum, maka seperti diungkap Sobhi Mahmasanni di dalam Falsafatut Tasyrî` fil Islâm (1956), sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila terjadi perubahan hukum disebabkan karena berubahnya zaman dan keaadaan, serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan.
Menurut Ibnu al-Qayyim, seperti dikutip oleh Husain Hamid Hasan dalam Nadzriyyatul Maslahah fil Fiqhil Islâmî (1971), syariat dasar dan landasannya adalah hikmah dan terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah secara menyeluruh. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan ke tirani, dari rahmat ke permusuhan, dari maslahat ke kebinasaan, dari hikmat ke kesia-siaan atau kemuspraan, bukanlah termasuk syariat, dengan interpretasi bagaimana pun juga.
Islam, menurut Harun Nasution dalam Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam (1985), diyakini sebagai agama universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Alquran menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa Rasulullah adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada. Oleh sebab itu, Islam seyogyanya ditafsirkan secara lebih fleksibel agar bisa diterima oleh setiap manusia di muka bumi secara alamiah.
Islam dapat berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia dapat berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja dan tradisionalistis. Ketika berhadapan dengan masyarakat modern, Islam dituntut untuk dapat menghadapinya. Kesiapan Islam menghadapi tantangan zaman inilah yang selalu dipertanyakan oleh para pemikir muslim kontemporer.
Dalam hal ini, ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat Islam sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya. Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para mujtahid. Dengan ijtihad, Islam mampu berkembang dengan pesat menuju kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika ijtihad sirna dari kalangan umat Islam, mereka mengalami kemunduran. Ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya.

Kronolidi

Wah, ternyata bener deh. Tanggapan orang2 itu muacemnya banyak. Ada yang bilang, “Kreatif”, “Bagus…. ternyata di tengah pragmatisme warga kompleks Watoe Dhakon masih ada yang mau mengangkat tema-tema kontroversial seperti ini. Jika saja surga-neraka itu milikku, mereka tidak akan kumasukkan neraka”. (tapi belum tentu masuk surga juga kali yee….). Ada juga yang bilang, “kurang kerjaan banget sih anak2 kelas satu ini”, “ini apa to? Apa cuma pengen nampang n terkenal?”, “aneh banget sih”. Malahan ada yang ngirain kalo sapulidi itu diafiliasi salah satu organisasi ekstra, ada yang ngira buletin punya kelas. Trus, biarpun pada liditorial edisisatu kemaren kawanKu (kayak majalah remaja aja ja?) bilang kalo definisi hanya akan mengurangi harga, tapi menurutku ternyata sapulidi = al-Quran. Samanya, sama-sama progresif dan kontekstual. Nah, keadaan sekarang menuntut definisi dan deskripsi dari sapulidi agar kerancuan dan kesalahpahaman bisa terbersihkan, karena itulah hakikat kronolidi lahirnya sapulidi.

Berawal dari pertemuan dan kebulatan tekat / keinginan bulat untuk melangkah bersama (kalo bahasa pacarannya, ber317an, hehehe), embrio sapulidi mulai terbentuk. Sejak semester gasal di kelas US.A1 di ruang G1 dulu, calon tukang2 sapu2 sudah punya gagasan besar untuk mengekspos gagasan2 kecil mereka. Seiring waktu, hasrat embrio itu pun sempat pupus. Hingga naik kelas ke semester genap ke gedung sakral historis di blok D, embrio itu masih saja bertahan (gak mau keluar). Sampai puncaknya pas diskusi sama temen2, mulai ada pemetaan-pemetaan pemikiran. Akhirnya, dengan satu misi – mendobrak “kenyamanan lama” yang menghegemoni pikiran umat manusia (wow, guuuuayane rek….), dan dengan misi yang relatif-fleksibel; di antaranya ya biar terkenal itu tadi (padahal sebelumnya q dah ngira kalo tukang2 sapu2 udah pada dikenal orang, eh ternyata belum. Lelah deh….)

Namun, pada dasarnya sapulidi hanya ingin menjadi mediator bagi perbincangan wacana. Sapulidi bukan hanya milik tukang2 sapu2, juga bukan hanya milik kelas Ushuluddin Angkatan 2007, tapi sapulidi hanya milik orang2 dengan semangat membara untuk mewarnai sejarah peradaban umat manusia.

Kamis, 08 Mei 2008

REVIVALISASI ISLAM LIBERAL; SEBUAH TAWARAN

Adalah menarik bahkan terkesan unik, menyandingkan 2 term; Revivalisasi Islam dan Islam Liberal. Term pertama sebagai istilah yang sudah ada dalam pergulatan peradaban Islam menggambarkan sebuah upaya menjadikan Islam sebagai pemilik tunggal hak claim of truth and salvation, sedangkan term kedua lebih mengarah pada demokratisasi Islam dan humanisme. Islam Revivalis (trans-nasionalis, fundamentalis, konservatif dan tradisionalis) cenderung bersifat radikal dan “merasa paling benar”. Sedangkan Islam Liberal mengerucut pada kebebasan yang (sebenarnya masih) terbatas pada koridor-koridor interpretasi kemanusiaan. Pada akhirnya, Revivalisasi Islam Liberal dapat diartikan sebagai puncak capaian usaha pemikiran dan ideologi liberalisme Islam terhadap ranah peradaban manusia. Sebuah prestise kemenangan bagi peradaban Islam, Islam yang menjunjung tinggi kontekstualitas manusiawi dalam kerangka liberalisme.
Islam Liberal, meskipun dipandang sebagai produk budaya barat yang justru melecehkan Islam (K.H. Luthfi Bashori, Pimpinan PP. Al-Murtadlo Malang) dan apa yang ditawarkan hanyalah sebongkah kesesatan (K.H. A. Khalil Ridwan), namun paradigma murni yang diangkat dalam liberalisme adalah proses pembebasan dari keterkungkungan dalam dogma dengan tidak meninggalkan kesakralan dan kesucian aqidah dan tauhid kepada Yang Maha Mutlak. Kerap disalah-artikan, sebagai kebebasan interpretatif dan keberanian yang mengarah pada kelancangan. Islam Liberal, sebenarnya justru berupaya “memanusiakan” dan “menghidupkan” Islam sesuai dengan konteks dan komunitas yang lebih luas.
Sebenarnya, liberalismepun bukanlah hal baru dalam Islam. Jadi, Salah Besar (dengan S dan B kapital) jika ada yang mengatakan Islam Liberal adalah produk barat. Liberalisme Islam (dalam hal ini dinyatakan dalam kebebasan penafsiran terhadap dasar hukum syari’at) bermula pada saat pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab. Saat itu, setelah menaklukkan sebuah wilayah dar al-kuffar dalam invasi perluasan wilayah dan penyebaran Islam, pasukan Muslim mendapatkan tanah sitaan (daerah persawahan) di Irak, Persia, dan Mesir cukup banyak. Jika mengikuti ketentuan al-Qur’an surah al-Anfal ayat 41 sebagai adillatu al-syar’i (dasar hukum), seharusnya Umar membagi daerah tersebut 1/5 untuk kemaslahatan umat dan 4/5 untuk pasukan yang ikut dalam peperangan tersebut. Namun, berdasar asumsi bahwa pembagian tersebut justru akan mendatangkan fitnah dan khilaf di kalangan sahabat, maka Umar tidak membagikan ghanimah tersebut. Tanah sitaan tersebut tetap digarap oleh pemilik aslinya (kaum kafir) dengan syarat mereka membayar kharaj (pajak) kepada pemerintahan Islam. Sedangkan status tanah tersebut menjadi milik negara (Islam).
Waktu itu Umar ditentang keras oleh beberapa sahabat lain, di antaranya Bilal ibn Rabah, Zubair ibn Awwam, dan Abdurrahman ibn Auf. Mereka sebagai representasi sahabat yang literalis menganggap Umar terlalu berani menafikan nash al-Qur’an dan juga sunnah Nabi yang membagi ghanimah sesuai rumusan al-Qur’an tersebut pada peperangan di Khaibar. Karena kerasnya tekanan dari Bilal, Umar bahkan berdo’a, “Ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya”. Meskipun ditekan sedemikian hebatnya, Umar tetap bertahan sampai akhirnya pendapatnyalah yang diterima masyarakat umum.
Berangkat dari kasus Umar dan Bilal, dapat ditarik dua versi pemahaman Islam; liberal dan literal. Ini berarti yang literal maupun yang literal sama-sama anak kandung Islam yang sah. Islam literal memandang nash al-Qur’an adalah sebagai dasar hukum yang sah, dan hanya bisa didukung atau dilemahkan dengan nash lain (sunnah Nabi), juga dengan ijtihad ulama’. Namun, pendapat seperti itu justru berujung pada tekstualitas penafsiran beragama. Penafsiran rasional-liberal-sosial-kontekstual tentu tidak searah dengan pemikiran literal.
Implikasi dari pandangan literal mengakibatkan totalitas nash dalam mengatur seluruh wilayah kehidupan; privat dan publik. Nash juga memiliki akses yang tak terhingga dalam segala aspek kemanusiaan, menembus batas ruang-waktu, dan mengatasi berbagai karakter historis. Lebih jauh, latar belakang Arab sebagai konteks di mana Nabi tinggal menjadi latar belakang yang “resmi” dalam dunia Islam. Segala hal di luar Arab dianggap sebagai bukan Islam.
Sedangkan Islam dalam perspektif liberalis lebih luas dalam interpretasi nash sebagai adillah al-syari’ah. Liberalis menggunakan nash dengan mencari maqashid al-syari’ahnya, jadi mereka tidak serta-merta beramal sesuai dengan nash tersebut (letter lack). Mereka memposisikan wahyu sebagai hal yang progresif dan harus disesuaikan dengan konteks komunitas masyarakat setempat, bahkan menolak tekstualitas al-Qur’an. Namun, paradigma sedemikian bukan ingin menyempitkan penggunaan syari’at hanya di era dan daerah tertentu saja. Penerapan syari’at di Indonesia tentu berbeda dengan Arab Saudi. Aplikasi kontemporer juga tentu berbeda dengan masa-masa terdahulu. Lebih jauh, paradigma demikian justru akan lebih mendekatkan nash dengan masyarakat penggunanya.
Berkaitan dengan maqashid al-syari’ah dan kontekstualitas al-Qur’an, sahabat Umar ibn Khattab sebagai founding father Islam Liberal juga tidak hanya sekali (dalam kasus pembagian ghanimah) meninggalkan makna harfiah nash. Contoh lain terdapat pada saat beliau menghakimi seorang pencuri unta miskin. Jika berdasarkan pada al-Qur’an surah al-Ma’idah 38, pencuri tersebut harus dipotong tangannya. Namun Umar tidak memotong tangannya karena konteks masyarakat pada saat itu sedang dalam masa paceklik yang sangat berat.
Terlepas dari pandangan literalis-liberalis yang secara signifikan berbeda, keduanya adalah sama-sama produk kebudayaan Islam. Memposisikan keduanya harus dalam posisi yang sejajar, karena sejauh ini tidak ada yang tahu siapa benar-siapa salah. Keduanya sama-sama dalam proses road to the peace, truth, and salvation. Jadi, sama sekali tidak bisa dibenarkan jika ada justifikasi bahwa kelompok lain adalah salah, bahkan dipandang sesat dan kafir. Karena barangsiapa mengkafirkan saudaranya sesama muslim, maka dia sendirilah yang sebenarnya kafir (al-hadits). Ghafarallah anhum. God Knows.

denologis@yahoo.co.uk